Kata Mutiara

 "Sesungguhnya jika kita berbuat kebaikan, Kita BUKAN hanya sedang membantu orang atau mahkluk lain, Namun sesungguhnya kita sedang membantu diri kita sendiri agar menjadi lebih bahagia. Temukan kebahagiaan dengan memberi ", bila hati gembira segala penyakit akan berdiri jauh dari kita.

Kamis, 22 April 2010

Mau Belajar Ekonomi Kerakyatan ? Datanglah ke Ranah Minang…

peternakanjpg
Di masa kampanye Pileg yang lalu dan Pilpres yang sedang berlangsung saat ini, ada suatu proses pembelajaran dan pencerahan yang sangat bermanfaat bagi seluruh anggota masyarakat Indonesia, yaitu dikenalkannya konsep Ekonomi Neo Liberal di satu sisi, dan konsep Ekonomi Kerakyatan di sisi lain sebagai lawannya.
Dua nama konsep ini sebenarnya tidak terlalu asing karena sudah sering disebutkan dalam berbagai media pada beberapa tahun terakhir ini. Tapi rakyat tidak terlalu tertarik untuk mencermatinya.
Sekarang keduanya menjadi sangat penting karena digunakan sebagai salah satu topik kampanye Pilpres yang sangat menarik perhatian masyarakat.
Dikatakan oleh salah satu Capres atau tim suksesnya bahwa lawannya menganut faham Ekonomi Neo Liberal dengan segala hal-hal negatif yang terkait dengan dengan konsep tersebut, dan kemudian dinyatakan bahwa sang Capres “berjanji” akan menerapkan konsep Ekonomi Kerakyatan andai dia terpilih nanti……Sang lawan membalas mengatakan bahwa tidak benar kalau mereka penganut Neo Liberal, mereka juga penganut Ekonomi Kerakyatan…..Ketiga  Capres ternyata mengklaim bahwa mereka adalah penganut ”Ekonomi Kerakyatan”
Akibatnya cukup heboh : masyarakat menjadi ingin tahu apa sih sebenarnya perbedaan antara kedua konsep yang dipertentangkan tersebut ?
Di sinilah kemudian terjadi proses pencerahan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup bangsa ini : para pakar melalui berbagai media cetak dan elektronik mulai menjelaskan secara rinci hal-hal yang menyangkut rasa ingin tahu masyarakat tersebut. Tujuan pencerahan ini sangat jelas, yaitu agar rakyat menggunakan hak pilihnya secara cerdas, dengan mengetahui secara memadai perbedaan pokok antara kedua konsep sistim perekonomian tersebut.
Artikel ini bukan untuk membahas kedua konsep sistem tersebut, karena memang penulis tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk hal itu.
Tapi ada ketertarikan yang lain sewaktu mendengar pembahasan yang hangat tentang Ekonomi Kerakyatan ini beberapa kali di televisi, dan mencermatinya lebih lanjut dari beberapa tulisan menyangkut sistim perekonomian yang satu ini.
revrisond_baswir2Yang paling banyak terlibat dalam pembahasan, menulis atau dikutip tulisannya oleh sejumlah media adalah Drs. Revrisond Baswir MBA, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Yogyakarta.
Dari beberapa tulisannya terungkap keterkaitan yang erat atau peranan yang sangat besar dari Bung Hatta dalam penetapan dasar-dasar konsep perekonomian ini sejak tahun 1930an, pencantumannya sebagai Pasal 33 yang sangat terkenal itu dalam UUD 1945, dan konsistensi beliau dalam pengembangan dan implementasinya melalui program koperasi di Indonesia.
Disayangkan kalau sebagian besar rakyat Indonesia hanya mengenang beliau hanya sebagai Proklamator dan Bapak Koperasi saja.
Coba kita cermati cuplikan tulisan Drs. Revrisond Baswir berikut ini, yang dikutip dari tulisan beliau tentang Ekonomi Kerakyatan yang berjudul “Ekonomi Rakyat dan Koperasi Sebagai Sokoguru Perekonomian Nasional” *) [eb]:
“Salah satu gagasan ekonomi yang dalam beberapa waktu belakangan ini cukup banyak mengundang perhatian adalah mengenai ‘ekonomi kerakyatan’. Di tengah-tengah himpitan krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia, serta maraknya perbincangan mengenai globalisasi dan globalisme dalam pentas wacana ekonomi-politik dunia, kehadiran ekonomi kerakyatan dalam pentas wacana ekonomi-politik Indonesia memang terasa cukup menyegarkan. Akibatya, walau pun penggunaan ungkapan itu dalam kenyataan sehari-hari cenderung tumpang tindih dengan ungkapan ekonomi rakyat, ekonomi kerakyatan cenderung dipandang seolah-olah merupakan gagasan baru dalam pentas ekonomi-polilik di Indonesia.
Kesimpulan seperti itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab, bila ditelusuri ke belakang, dengan mudah dapat diketahui bahwa perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan sesungguhnya telah berlangsung jauh sebelum Indonesia memproklamkkan kemerdekaannya.
bunghattaPada mulanya adalah Bung Hatta, di tengah-tengah dampak buruk depresi ekonomi dunia yang tengah melanda Indonesia, yang menulis sebuah artikel dengan judul Ekonomi Rakyat di harian Daulat Rakyat (Hatta, 1954). Dalam artikel yang diterbitkan tanggal 20 Nopember 1933 tersebut, Bung Hatta secara jelas mengungkapkan kegusarannya dalam menyaksikan kemerosotan kondisi ekonoroi rakyat Indonesia dibawah tindasan pemerintah Hindia Belanda.
Yang dimaksud dengan ekonomi rakyat oleh Bimg Hatta ketika itu tentu tidak lain dari ekonomi kaum pribumi atau ekonomi penduduk asli Indonesia. Dibandmgkan dengan ekonomi kaum penjajah yang berada di lapisan atas, dan ekonomi warga timur asing yang berada di lapisan tengah, ekonomi rakyat Indonesia ketika itu memang sangat jauh tertinggal.
Sedemikian mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan penderitaan rakyat pada masa itu, meika tahun 1934 beliau kembali menulis sebuah artikel dengan nada serupa. Judulnya kali ini adalah Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya (Hatta, 1954). Dari judulnya dengan mudah dapat diketahui betapa semakin mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan kemerosotan ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan pemerintah Hindia Belanda.
Tetapi sebagai seorang ekonom yang berada di luar pemerintahan, Bung Hatta tentu tidak bisa berbuat banyak untuk secara langsung mengubah kebijakan ekonomi pemerintah.
Untuk mengatasi kendala tersebut, tidak ada pilihan lain bagi Bung Hatta kecuali terjun secara langsung ke gelanggang politik. Dalam pandangan Bung Hatta, perbaikan kondisi ekonomi rakyat hanya. mungkin dilakukan bila kaum penjajah disingkirkan dari negeri ini. Artinya, bagi Bung Hatta, perjuangan merebut kemerdekaan sejak semula memang diniatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Walau pun demikian, sebagai seorang ekonom pejuang, tidak berarti Bung Hatta serta merta meninggalkan upayanya untuk memperkuat ekonomi rakyat melalui perjuangan ekonomi. Tindakan konkret yang dilakukan Bung Hatta untuk memperkuat ekonomi rakyat ketika itu adalah dengan menggalang kekuatan ekonomi rakyat melalui pengembangan koperasi.
Terinspirasi oleh perjuangan kaum buruh dan tani di Eropa, Bung Hatta berupaya sekuat tenaga untuk mendorong pengembangan koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat.
Sebagaimana terbukti kemudian, kepedulian Bung Hatta terhadap koperasi tersebut berlanjut jauh setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Hal itu antara lain disebabkan oleh kesadaran Bung Hatta bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan.
Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi Indoncsia dari sebuah perekonomian yang berwatak koionial menjadi sebuah perekonomian nasional.
Sebagaimana dikemukakan Bung Karno, yang dimaksud dengan ckonomi nasional adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat banyak dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air (lihat Weinsten, 1976).
Kesadaran-kesadaran seperti itulah yang menjadi titik tolak perumusian pasal 33 Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan pasal tersebut, ”Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua unluk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.”
Dalani kutipan penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut, ungkapan ekonomi kerakyatan memang tidak ditemukan secara eksplisit. Ungkapan konsepsional yang ditemukan dalam penjelasan Pasal 33 itu adalah mengenai ‘demokrasi ekonomi’. Walaupun demikian, mengacu pada definisi kata ‘kerkayatari’ sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta (Hatta, 1932), serta penggunaan kata kerakyatan pada sila keempat Pancasila, tidak terlalu sulit untuk disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan sesungguhnya tidak lain dari demokrasi ekonomi sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 itu. Artinya, ekonomi kerakyatan hanyalah ungkapan lain dari demokrasi ekonomi (Baswir, 1995). Ekonomi Kerakyatan dan Bung Hatta.
Perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi memang tidak dapat dipisahkan dari Bung Hatta. Sebagai Bapak Pendiri Bangsa dan sekaligus sebagai seorang ekonom pejuang, Bung Hatta tidak hanya telah turut meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan sebuah negara merdeka dan berdaulat berdasarkan konstitusi. Beliau juga inemainkan peranan yang sangat besar dalam meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan perekonomian nasional berdasarkan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi. Bahkan, sebagai Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta lah yang secara konsisten dan terus menerus memperjuangkan tegaknya kedaulatan ekonomi rakyat dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia.
Tetapi bila ditelusuri ke belakang, akan segera diketahui bahwa persinggungan Bung Hatta dengan gagasan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi sekurang kurangnya telah dimulai sejak berlangsungnyatanmalaka3001perbincangan antara Bung Hatta dan Tan Malaka di Berlin, bulan Juli 1922. Bung Hatta ketika itu bduni genap setahun berada di negeri Belanda.
Dalam perbincangan tersebut, yaitu ketika Tan Malaka mengungkapkan kekecewaannya terhadap model pemerintahan diktatur yang diselenggarakan Stalin di Uni Soviet, Bung Hatta serta merta menyelanya dengan sebuah pertanyaan yang sangat tajam, “Bukankah kediktaturan memang inheren dalam paham komunisme?
Pertanyaan Bung Hatta tersebut ditanggapi oleh Tan Malaka dengan menjelaskan teori diktatur proletariat yang diperkenalkan oleh Karl Marx. Menurut Tan Malaka, diktatur proletariat sebagaimana dikemukakan oleh Marx hanya berlangsung selama periode transisi, yaitu selama berlangsungnya pemindahan penguasaan alat-alat produksi dari tangan kaum kapitalis ke tangan rakyat banyak.
Selanjutya, kaum pekerja yang sebelumnya telah tercerahkan di bawah panduan perjuangan kelas, akan mengambil peran sebagai penunjuk jalan dalam membangun keadilan Hal itu akan dicapai dengan cara menyelenggarakan produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan berbagai institusi dalam masyarakat. Hal tersebut jelas sangat bertolak belakang dengan diktatur personal” (Hatta, 1981).
Penggalan kalimat Tan Malaka yang berbunyi “produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan berbagai institusi dalam masyarakat” itu tentu mengingatkan kita pada penggalan kalimat yang terdapat dalam penjelasan pasal 33 IJUD 1945 sebagaimana dikemukakan tadi. Kemiripan kedua kalimat tersebut secara jelas mengungkapkan bahwa persinggungan Bung Hatta dengan konsep ekonomi kerakyatan setidak-tidaknya telah berlangsung sejak tahun 1922, sejak tahun pertama ia berada di negeri Belanda.
Perkenalan pertama itu tampaknya sangat berkesan bagi Bung Hatta, sehingga mendorongnya untuk melakukan pengkajian secara mendalam. Selain membaca bukubuku sosialisme, Bung Hatta juga memperluas pergaularmya dengan kalangan Partai Buruh Sosial Demokrat (SDAP) di Belanda. Bahkan, tahun 1925, sebagai aktivis Perhimpunan Indonesia, Bung Hatta sengaja memutuskan untuk melakukan kunjungan ke beberapa negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia. Tujuannya adalah unluk mempelajari gerakan koperasi. dari dekat (Hatta, 1981).
Selepas menyelesaikan studi di Belanda, komitmen Bung Hatta terhadap ekonomi kerakyatan terus berlanjut. Salah satu tulisan yang mengungkapkan konsistensi komitmen Bung Hatta terhadap ekonomi kerakyatan adalah pamphlet yang disusunnya untuk
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) pada tahun 1932. Dalam pamphlet yang berjudul “Menuju Indonesia Merdeka” tersebut, Bung Hatta mengupas secara panjang lebar mengenai pengertian kerakyatan, demokrasi, dan arti penting demokrasi ekonomi sebagai salah satu pilar model demokrasi sosial yang cocok bagi Indonesia merdeka,
Sebagaimana ditulisnya, di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong-pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yartg mesti menguasai penghidupan orang bariyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan.
Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya,” (Hatta, 1932).
Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila dalam kedudukan sebagai penyusun UUD 1945, Bung Hatta berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan ekonomi kerakyatan sebagai prinsiop dasar sistem perekonomian Indonesia. Hal itu pula, saya kira, yang menjelaskan mengapa setelah menjabat sebagai wakil presiden, Bung Hatta terus mendorong pengembangan koperasi di Indonesia. Berkat komitmen tersebut, sangat wajar bila tahun 1947 Bung Hatta secara resmi dikukuhkan oleh Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Konsistensi komitmen Bung Hatta terhadap ekonomi kerakyatan itu bahkan berlanjut setelah beliau melepaskan jabatannya sebagai wakil presiden. Sebagaimana terungkap dalam tulisannya yang berjudul Demokrasi Kita, yang diterbitkan empat tahun setelah beliau meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden pada taliun 1956, Bung Hatta sekali lagi mempertegas pentingnya penyelenggaraan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi sebagai jalan dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia.
Sebagaimana ditulisnya, “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi.
Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada.Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial., melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia,” (Hatta, 1960)…………. ” dstnya.
Saya membaca tulisan diatas dengan penuh rasa takjub akan kualitas pemikiran dan konsistensi perjuangan Bung Hatta sebagai salah satu bapak bangsa Indonesia, bersama dengan 1hattapara bapak bangsa lainnya seperti Bung Karno, Tan Malaka, Bung Syahrir, Haji Agus Salim, Mohammad Yamin, dan sederet nama besar lainnya.
Sangat banyak contoh-contoh perbuatan nyata yang ditinggalkan oleh mereka ini untuk generasi sesudah mereka. Hubungan pribadi yang hangat dan akrab walau ada perbedaan dalam politik, kesantunan, kegigihan dalam memperjuangkan cita-cita yang bernilai luhur, kesediaan berkorban, dan lain-lain.
Dalam suasana ”pesta demokrasi” yang bernama Pemilihan anggota Legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden yang sedang berlangsung sekarang, tampak dengan jelas bahwa pemikiran Bung Karno dan Bung Hatta ternyata mampu melampaui masa kehidupan mereka.
BE042995Pemikiran Bung Karno tentang ”Marhaenisme”, ”Berdiri Diatas Kaki Sendiri (Berdikari)”, dan ”Nasionalisme Indonesia”, serta pemikiran Bung Hatta tentang Demokrasi dan ”Ekonomi Kerakyatan”  ternyata masih hidup dan berkembang sampai saat ini, yang diusung oleh beberapa  partai politik.
Ini tentunya sangat melegakan, mengingat  bahwa pada era Reformasi akan terjadi proses koreksi atas kesalahan-kesalahan masa lalu, dan menetapkan dasar-dasar yang lebih kokoh dan baik untuk masa depan.
Masih sangat relevannya pemikiran para bapak bangsa tersebut untuk digunakan dalam menghadapi masa depan Indonesia  menunjukkan masih adanya benang merah yang menghubungkan perjuangan yang sudah dilakukan dari zaman kebangkitan Nasional tahun 1920an dengan perjuangan masa kini.
Kita ternyata masih konsisten meneruskan dan mengembangkan cita-cita mereka.
Nah, disinilah saya yang berstatus ’urang awak’ ini kemudian merasakan suatu ”kepedihan” ketika tersadar bahwa tidak ada tampak suatu benang merah yang menghubungkan  cita-cita, pemikiran dan perjuangan Bung Hatta  menyangkut ”Ekonomi Kerakyatan”  dan ”Koperasi” ini dengan upaya keras dan sungguh-sungguh untuk mengembangkan konsep sistim ekonomi besar ini  lebih lanjut di tanah kelahiran beliau sendiri di ranah Minang.
Beliau dikagumi, dihormati, dan dibanggakan oleh semua urang awak. Nama beliau ada pula diabadikan pada nama sebuah perguruan tinggi di ranah Minang (Universitas Bung Hatta),rumah beliau di Bukittinggi dijadikan perpustakaan, atau diabadikannya nama Hatta sebagai nama jalan atau bangunan (saya kurang tahu).
Tapi bagaimana dengan pemikiran dan cita-citanya ?
Tidak ada terdengar bahwa Universitas Bung Hatta atau Universitas Andalas atau Perguruan Tinggi lain di ranah Minang yang memiliki suatu Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan.
Justru pemikiran Bung Hatta dikembangkan secara sungguh-sungguh di Universitas Gajah Mada yang sejak lama telah mendirikan Pusat Studi tersebut dengan beberapa tokohnya yang dikenal secara luas seperti alm. Prof Mubyarto dengan konsep “Ekonomi Pancasila” nya.
Alhamdulillah UGM masih berada di wilayah NKRI.
Bagaimana pula rasa hati kita kalau satu waktu kelak ternyata “Ekonomi Kerakyatan” ini ternyata dikembangkan pula secara intensif oleh negara lain di lingkungan Asean ini ? Dan penerapannya mampu pula mendongkrak perkembangan ekonomi negaranya lebih maju pula dari kita ?
Alhamdulillah pula bahwa ternyata Drs. Revrisond Baswir adalah urang awak juga. Beliau inilah yang secara gigih mengembangkan, mengenalkan, dan memperjuangkan gagasan Bung Hatta (Bung Hatta  ternyata pada fase awal juga terilhami dari diskusi dengan Tan Malaka).
Tidak adakah minat dari Perguruan Tinggi di Sumbar (minimal) untuk  bekerja sama dengan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan yang di UGM tersebut dan Drs Revrisond Baswir guna mengembangkan pula Pusat Studi sejenis di Sumbar ?
Atau secara bersama mencoba mengimplementasikannya di Sumbar ? Mengembangkan jaringan koperasi sebagaimana yang dipelajari Bung Hatta tahun 1920an dari negara-negara Skandinavia yang ekonominya luar biasa majunya sampai saat ini ?
Apa hasil nyata dari Dinas Koperasi dan UKM di Sumbar ? Tidak adakah suatu “beban ekstra” yang membuat mereka bekerja dan berkarya secara lebih sungguh-sungguh karena ini adalah Dinas Koperasi dan UKM di tanah kelahiran Bung Hatta yang dibanggakan tersebut ?
Dan bagaimana pula dengan para ahli ekonomi urang awak ? Kenapa mereka tidak merasa terpanggil untuk mendalami dan mengembangkannya seperti atau bersama Drs Revrisond Baswir ?
Daftar pertanyaan ini bisa menjadi sangat panjang kalau diterus-teruskan.
Kalau saya bisa meniru DR Martin Luther King dalam ”bermimpi”,  I have also a dream…… bahwa suatu waktu kelak para siswa dari berbagai daerah di Indonesia, dan dari berbagai negara akan berduyun-duyun belajar ke perguruan-perguruan tinggi di ranah Minang……. mendalami ilmu Ekonomi Kerakyatan dan Koperasi………mengambil S1, S2, S3…….dan melakukan on-the-job-training di Koperasi-koperasi besar di ranah ini…….para  pakar  Koperasi urang awak  bertebaran di berbagai wilayah dan Negara untuk  mengajarkan konsep ekonomi baru dan Koperasi ini……….Pada zaman itulah, semua orang akan tahu bahwa kalau mau belajar Ekonomi Kerakyatan, datanglah ke ranah Minang………..
Di luar “mimpi” ini saya mengamati pula suatu pola pikir yang berkembang di kalangan sejumlah urang awak menyangkut Pilpres dan  “kebanggaan”  terhadap sesama urang awak yang dinilai sebagai berhasil atau terkategorikan sebagai orang besar.
Dari sebuah milis urang awak dapat diikuti sebuah diskusi hangat yang sudah berbau “kampanye” .  Ternyata cukup banyak  yang menjatuhkan pilihannya  pada  calon tertentu  dengan pertimbangan  antara lain karena  yang bersangkutan  berstatus “urang sumando”, sehingga diharapkan nanti ada jugalah ‘urang awak’ yang jadi ibu Negara……
Ironisnya di milis urang awak itu TIDAK ADA  yang menyebutkan bahwa dia tertarik dengan Capres tertentu yang  (walau baru sekadar ber”janji”) akan menerapkan sistim  “Ekonomi Kerakyatan”  yang sejatinya digagas dan diperjuangkan oleh Bung Hatta, putra Minang yang dibanggakan semua urang awak.
Dua pendapat ini basisnya adalah “kebanggaan”, tapi tetap terasa ada suatu perbedaan dalam dua jenis kebanggaan  tersebut. Yang satu berlingkup kepentingan lokal yang sempit, dan yang satunya lagi berlingkup kepentingan Nasional yang lebih luas dan mendasar.
Yang jelas, saat ini mimpi saya diatas benar-benar barulah hanya sekadar mimpi.
Kalau ada yang mau belajar “Ekonomi Kerakyatan” sekarang, tampaknya  pusat pengembangan dan para pakarnyanya ternyata  masih berada di UGM, Yogyakarta.Yogyakarta ternyata masih menjaga semangat kejuangan 1945 mereka secara konsisten.
Di Jakarta ada pula Perguruan Tinggi bernama Universitas Bung Karno. Tampaknya di sana “Marhaenisme” dan gagasan-gagasan Nasionalisme Bung Karno masih dipelajari oleh para mahasiswanya.
Pemikiran-pemikiran para bapak bangsa yang berasal dari ranah Minang tampaknya tidak dikembangkan lebih lanjut oleh generasi penerusnya di tanah kelahiran mereka sendiri, walau sejumlah hal yang mereka perjuangkan dulu masih relevan dengan situasi dan kondisi masa kini.
“Kebanggaan” yang nampak sekarang hanyalah  sebatas kebanggaan semu; kebanggaan yang tidak jelas manfaatnya, dan tidak jelas pula cara penggunaannya. Yang dicoba digali ternyata sesuatu yang lebih lama lagi, seperti sejarah masa silam Minangkabau yang berasal dari tambo, asal-usul orang Minang yang konon terkait dengan  sejumlah orang “berdarah biru” masa silam (termasuk Iskandar Zulkarnain), kisah kerajaan Pagaruyung, keinginan sejumlah pihak untuk menunjukkan kembali eksistensi kerajaan Pagaruyung di ranah Minang, dan lain sejenisnya.
Hmmm, “perubahan” yang rada heboh sih ada juga di negeri tercinta ini, yaitu fasilitas  rekreasi bernama  water boom ; yang saat ini di ranah Minang terdapat 2 a 3 pilihan  water boom; malah kabarnya masih akan bertambah pula dalam waktu dekat……….
Yah, ini pulalah baru tampaknya kemampuan pikir dan tindak kita di ranah tercinta ini…….

*) Sumber  kutipan :
Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi  Rakyat  & Koperasi  Sebagai Sokoguru Perekonomian Nasional
oleh : Revrisond Baswir
Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Jogyakarta

Tidak ada komentar: