Kata Mutiara

 "Sesungguhnya jika kita berbuat kebaikan, Kita BUKAN hanya sedang membantu orang atau mahkluk lain, Namun sesungguhnya kita sedang membantu diri kita sendiri agar menjadi lebih bahagia. Temukan kebahagiaan dengan memberi ", bila hati gembira segala penyakit akan berdiri jauh dari kita.

Kamis, 22 April 2010

Manajemen Rumah Makan Minang : Bisakah Diadopsi & Dikembangkan Lebih Lanjut?

RMPadang3
Sewaktu membaca tulisan Revrisond Baswir yang terkait dengan proses pengembangan pemikiran Bung Hatta, dimana dikatakan bahwa Bung Hatta sewaktu belajar di Negeri Belanda pernah sengaja berkunjung ke negara-negara Skandinavia guna mempelajari sistim koperasi yang dikembangkan di sana (lihat artikel di “kadaikopi” : Mau Belajar Ekonomi Kerakyatan ? Datanglah ke Ranah Minang), fikiran saya menerawang ke tahun 1980an sampai awal tahun 2000an sewaktu perusahaan saya bekerja sama dengan beberapa perusahaan konsultan Denmark dan Finlandia.
Kami cukup lama bekerja sama masing-masing dengan perusahaan “KAMPSAX” untuk pekerjaan studi dan engineering design pemukiman transmigrasi di Kalimantan Tengah, “Hoff & Overgaard” untuk pekerjaan studi pengembangan jalan Kabupaten di Jawa dan Sulawesi, dan “Carl Bro” untuk pekerjaan studi dan design jalan Kabupaten di seluruh Indonesia, serta “Road & Waterways of Finland” untuk pekerjaan studi jaringan jalan di kepulauan Maluku.
Saya adalah orang Indonesia yang berasal dari ranah Minang dan cukup lama di masa muda  jadi “wong kito Palembang”. Menurut pengamatan saya, orang Minang dan orang Palembang merupakan 2 dari sejumlah etnis di Indonesia yang memiliki sifat egaliter.
1hatta5
Dengan latar belakang seperti ini, saya merasa sesuai dan cocok  dengan sifat egaliter yang ditunjukkan oleh rekan-rekan dari Denmark, Swedia, dan Finland ini. Mereka sangat terbuka, tidak membedakan manusia dari warna kulit, agama, ras, dan lain sejenisnya. Bagi saya bekerja sama dengan  mereka punya nilai lebih, kesenangan, dan kenangan  tersendiri.
Lepas dari keegaliteran ini, saya terkagum kagum mendengar bahwa koperasi adalah sistim perekonomian yang digunakan secara umum di negara-negara mereka.
Carl Bro sendiri menceritakan tentang peluang bagi para karyawannya untuk memiliki saham di perusahaan mereka. Bahwa dia sendiri sebagai pendiri perusahaan  harus menjual sahamnya ke perusahaan kalau sampai saatnya dia harus pensiun. Hasil penjualan saham inilah yang akan merupakan uang pensiunnya. Anaknya sendiri yang juga bekerja sebagai engineer professional di perusahaan tersebut harus membina kariernya sendiri dari bawah, dan harus  membeli sendiri saham perusahaan. Dia tidak dapat mewarisi  saham dari orang tuanya.
Di sisi lain, setelah membaca tulisan Revrison Baswir diatas pikiran saya juga menerawang ke hal lain yaitu rumah makan Minang (atau lebih sering disebut sebagai rumah makan Padang).
Bukan menyangkut jenis makanan atau menunya yang disukai oleh berbagai suku dan bangsa, melainkan sistim manajemennya yang sangat  unik.
Pada suatu rumah makan Padang, pihak-pihak yang terkait dengan usaha ini secara umum adalah pemilik, tukang masak, tukang sanduak, kasir, pelayan, dan tukang cuci piring.
Dalam sistim manajemen rumah makan Minang, hubungan antara pemilik dengan para pekerja  seperti  tukang masak, dan lain-lain itu bukan didasarkan pada sistim imbalan yang berupa gaji.
Di sini digunakan sistim bagi hasil berdasarkan ”mato” atau persentase.
Usaha dianggap sebagai usaha bersama antara pihak-pihak yang terlibat tersebut (termasuk pemilik), dan masing-masing memperoleh bagian keuntungan usaha berdasarakan prosentase yang disepakati bersama. Prosentase ini didasarkan pada peranan masing-masing, yang akan menentukan kesuksesan jalannya usaha (ini sesuai dengan pepatah Minang “gadang kayu gadang bahannyo, ketek kayu ketek bahannyo”= hasil sesuai dengan kontribusi/peran)
Peranan pemilik adalah sebagai pemodal dan penetap kebijaksanaan operasional. Daya tarik rumah makan terutama akan ditentukan oleh kualitas makanan yang ditentukan oleh keterampilan dan keahlian tukang masak. Kepuasan tamu dan pelanggan akan ditentukan juga oleh kualitas pelayanan dalam bentuk kecepatan dan kerapihan dalam menghidangkan. Kebersihan alat makan akan ditentukan oleh tukang cuci piring, sedangkan tertib keuangan akan ditentukan oleh keterampilan dan kejujuran kasir.
Dengan dasar pemikiran demikian, pembagian “mato” bisa sebagai berikut : pemilik 50 mato, tukang masak 15 mato, tukang sanduak 10 mato, kasir 10 mato, pelayan 5 mato, tukang cuci piring 5 mato, dan zakat 5 mato. Ini tentunya bisa bervariasi antara satu rumah makan dengan lainnya.
Pembagian hasil usaha  dilakukan setiap 100 hari.
Kebijaksanaan lainnya adalah bahwa karyawan berhak untuk memperoleh pinjaman sebelum waktu 100 hari tersebut, disamping bahwa karyawan memperoleh makan, minum, dan uang rokok.
Dapatlah dibayangkan kalau seseorang anak muda pergi merantau, pepatah Minang mengatakan untuk mereka yang pergi ke negeri orang yang masih asing bagi mereka :  “…..sanak cari saudara cari…induk semang cari dahulu…”.
Kalau dia dapat induk semang seorang pemilik rumah makan Minang, atau dengan kata lain dia bekerja di rumah makan Minang sebagai tukang cuci piring sebagai jabatan yang paling bawah, maka minimal makan, minum dan uang rokok sudah ditangan.  Ditambah pula 5 % dari keuntungan usaha setiap 100 hari. Kalau nanti sudah berpengalaman, karierpun dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi : pelayan, juru masak, atau bahkan kasir (kalau dilihat dan dinilai jujur oleh induk semang).
Zaman dahulu, sistim manajemen yang sangat menjamin adanya “sense of belonging” yang tinggi dari seluruh unsur usaha ini, merupakan sistim yang umum digunakan oleh rumah makan Minang.
Sistim lama tersebut adalah sama dengan sistim Koperasi, atau ada juga yang menyebutnya sebagai  Ekonomi Pancasila, atau belakangan ini ramai pula disebut sebagai Ekonomi Kerakyatan; atau lebih tepatnya lagi lebih merefleksikan isi fasal 33 UUD 1945 dalam sisitim kepemilikan suatu usaha.
Zaman sekarang situasi dan kondisinya sudah berubah.
Sekarang sebagian rumah makan Minang sudah meninggalkan sistim ini dan menggantinya dengan sistim yang lebih kapitalistik : pemilik modal membuat suatu usaha dan menggaji karyawan yang dibutuhkannya.
Porsi karyawan dalam usaha tersebut adalah gaji + sejumlah imbalan lain, tapi tidak berhak atas pembagian keuntungan. Kalaupun ada bonus karena perusahaan meraih keuntungan yang memadai, besarnya terserah kepada pemilik usaha. Dalam sistim seperti ini, “sense of belonging” kalaupun ada akan sangat minim.
Sistim yang sama sebagaimana yang dilihat Bung Hatta pada tahun 1920an di negara-negara Skandinavia,  ternyata masih mereka gunakan sampai sekarang sebagaimana terlihat di perusahaan konsultan Denmark yang diceritakan diatas. Sistim yang menjadi fundasi dari kemakmuran mereka yang sangat menonjol diantara bangsa dan negara lain di dunia.
Sayapun kemudian membayangkan seorang pemuda Minang bernama Mohamad Hatta (kala itu belum bergelar ”Doktorandus”) pada tahun 1920an yang silam, belajar di negeri Belanda, terinspirasi oleh diskusi dengan seniornya Tan Malaka, dan pergi ke negara-negara Skandinavia untuk mempelajari sistim perekonomian yang mereka gunakan dan kembangkan di sana.
Saya membayangkan kekagetan beliau setelah melihat bahwa sistim yang sama ternyata telah digunakan secara umum oleh orang dari daerah asalnya  (ranah Minang) dalam mengelola usaha rumah makan mereka.
Inikah yang menambah keyakinan beliau bahwa inilah sistim perekonomian yang sesuai untuk  calon negerinya Indonesia Merdeka kelak ? Sistim yang digagas dan diperjuangkan oleh beliau untuk dimasukkan ke dalam UUD 1945 pada pasal 33 yang terkenal itu ? Wallahualam.
Ekonomi dan manajemen bukan bidang keahlian saya. Saya hanya berkhayal tentang kemungkinan diadopsi dan dikembangkannya manajemen rumah makan Padang dalam pengelolaan perusahaan-perusahaan di Indonesia, atau minimal di ranah Minang yang sudah lebih dahulu mengenal dan menghayati sistim ini.
Apakah mungkin pemilik modal, pemilik tanah (umpamanya usaha berada di tanah yang berstatus tanah ulayat, atau si pemilik tidak mau menjual tanahnya), eksekutif, staff, dan karyawan semuanya bergabung dalam satu usaha dengan pembagian hasil berdasarkan ”mato” diatas ?
Tentunya banyak hal yang harus didetaikan atau dikembangkan  untuk mengadopsi sistim ini. Umpamanya bagaimana mengaturnya agar pemilik tanah dapat memperoleh tanahnya kembali jika usaha karena ”satu dan lain hal” terpaksa dihentikan.
Ini juga bisa berlaku untuk usaha mall atau jalan tol umpamanya.
Di ranah Minang ”pembebasan tanah” untuk sesuatu keperluan merupakan masalah yang sekian kali lebih pelik dari pada di daerah lain (walau di daerah lain ini sekarang sudah tergolong pelik atau tidak dapat diatasi oleh peraturan yang ada). Sebagian tanah di ranah Minang berstatus tanah ulayat suku, kaum, atau Nagari yang tidak bisa diperjual belikan.
Andai tanah ulayat atau tanah milik sendiri ini diperhitungkan sebagai “mato” dalam komposisi kepemilikan jalan tol yang bersangkutan, maka sang pemilik akan dapat menikmati hasil bisnis jalan tol tersebut sepanjang masa…., bukan hanya sekali “ganti rugi” saja.
PadangGolfKalau dalam sistim kapitalis yang berlaku sekarang, para pemilik suatu padang golf sebagai contoh  hanya terdiri dari orang kaya dan terkenal, maka dalam sistim ‘manajemen rumah makan Minang’ ini rakyat biasa pemilik asli tanah akan ikut menjadi bagian dari pemilik  tadi karena mereka memiliki ”mato” mereka sendiri. Mereka jadinya juga berhak mendapat pembagian keuntungan sepanjang lapangan golf tersebut exist. Kalau suatu saat lapangan golf gulung tikar, maka sipemilik tanah akan mendapatkan tanahnya kembali.
Nah, kalau yang pelik sejenis yang menyangkut contoh pemilik tanah jalan tol dan lapangan golf ini dapat dicarikan solusi pengaturannya; tentunya pengaturan pembagian hasil di perusahaan-perusahaan biasa, yang terutama hanya  menyangkut pembagian hasil untuk staff dan karyawan saja, maka sistim ‘manajemen rumah makan Minang’ ini tampaknya sangat layak untuk diterapkan dan dikembangkan lebih lanjut dari sekarang.
Sistim seperti ini akan mengurangi kemungkinan pemilik modal (kapital) yang akan makin kaya dan makin kaya dalam waktu relatif singkat. Sistim ini rasanya akan lebih menjamin pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan secara lebih merata.
Sayangnya masyarakat kita sebagian besar sudah pula memiliki semacam ”the American Dreams”  yang intinya ingin menjadi milyuner (kalau diukur dengan rupiah mungkin menjadi triliuner) dalam waktu singkat.
Siapa yang tertarik untuk mengembangkan sistim manajemen rumah makan Minang ini lebih lanjut ?

Mau Belajar Ekonomi Kerakyatan ? Datanglah ke Ranah Minang…

peternakanjpg
Di masa kampanye Pileg yang lalu dan Pilpres yang sedang berlangsung saat ini, ada suatu proses pembelajaran dan pencerahan yang sangat bermanfaat bagi seluruh anggota masyarakat Indonesia, yaitu dikenalkannya konsep Ekonomi Neo Liberal di satu sisi, dan konsep Ekonomi Kerakyatan di sisi lain sebagai lawannya.
Dua nama konsep ini sebenarnya tidak terlalu asing karena sudah sering disebutkan dalam berbagai media pada beberapa tahun terakhir ini. Tapi rakyat tidak terlalu tertarik untuk mencermatinya.
Sekarang keduanya menjadi sangat penting karena digunakan sebagai salah satu topik kampanye Pilpres yang sangat menarik perhatian masyarakat.
Dikatakan oleh salah satu Capres atau tim suksesnya bahwa lawannya menganut faham Ekonomi Neo Liberal dengan segala hal-hal negatif yang terkait dengan dengan konsep tersebut, dan kemudian dinyatakan bahwa sang Capres “berjanji” akan menerapkan konsep Ekonomi Kerakyatan andai dia terpilih nanti……Sang lawan membalas mengatakan bahwa tidak benar kalau mereka penganut Neo Liberal, mereka juga penganut Ekonomi Kerakyatan…..Ketiga  Capres ternyata mengklaim bahwa mereka adalah penganut ”Ekonomi Kerakyatan”
Akibatnya cukup heboh : masyarakat menjadi ingin tahu apa sih sebenarnya perbedaan antara kedua konsep yang dipertentangkan tersebut ?
Di sinilah kemudian terjadi proses pencerahan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup bangsa ini : para pakar melalui berbagai media cetak dan elektronik mulai menjelaskan secara rinci hal-hal yang menyangkut rasa ingin tahu masyarakat tersebut. Tujuan pencerahan ini sangat jelas, yaitu agar rakyat menggunakan hak pilihnya secara cerdas, dengan mengetahui secara memadai perbedaan pokok antara kedua konsep sistim perekonomian tersebut.
Artikel ini bukan untuk membahas kedua konsep sistem tersebut, karena memang penulis tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk hal itu.
Tapi ada ketertarikan yang lain sewaktu mendengar pembahasan yang hangat tentang Ekonomi Kerakyatan ini beberapa kali di televisi, dan mencermatinya lebih lanjut dari beberapa tulisan menyangkut sistim perekonomian yang satu ini.
revrisond_baswir2Yang paling banyak terlibat dalam pembahasan, menulis atau dikutip tulisannya oleh sejumlah media adalah Drs. Revrisond Baswir MBA, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Yogyakarta.
Dari beberapa tulisannya terungkap keterkaitan yang erat atau peranan yang sangat besar dari Bung Hatta dalam penetapan dasar-dasar konsep perekonomian ini sejak tahun 1930an, pencantumannya sebagai Pasal 33 yang sangat terkenal itu dalam UUD 1945, dan konsistensi beliau dalam pengembangan dan implementasinya melalui program koperasi di Indonesia.
Disayangkan kalau sebagian besar rakyat Indonesia hanya mengenang beliau hanya sebagai Proklamator dan Bapak Koperasi saja.
Coba kita cermati cuplikan tulisan Drs. Revrisond Baswir berikut ini, yang dikutip dari tulisan beliau tentang Ekonomi Kerakyatan yang berjudul “Ekonomi Rakyat dan Koperasi Sebagai Sokoguru Perekonomian Nasional” *) [eb]:
“Salah satu gagasan ekonomi yang dalam beberapa waktu belakangan ini cukup banyak mengundang perhatian adalah mengenai ‘ekonomi kerakyatan’. Di tengah-tengah himpitan krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia, serta maraknya perbincangan mengenai globalisasi dan globalisme dalam pentas wacana ekonomi-politik dunia, kehadiran ekonomi kerakyatan dalam pentas wacana ekonomi-politik Indonesia memang terasa cukup menyegarkan. Akibatya, walau pun penggunaan ungkapan itu dalam kenyataan sehari-hari cenderung tumpang tindih dengan ungkapan ekonomi rakyat, ekonomi kerakyatan cenderung dipandang seolah-olah merupakan gagasan baru dalam pentas ekonomi-polilik di Indonesia.
Kesimpulan seperti itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab, bila ditelusuri ke belakang, dengan mudah dapat diketahui bahwa perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan sesungguhnya telah berlangsung jauh sebelum Indonesia memproklamkkan kemerdekaannya.
bunghattaPada mulanya adalah Bung Hatta, di tengah-tengah dampak buruk depresi ekonomi dunia yang tengah melanda Indonesia, yang menulis sebuah artikel dengan judul Ekonomi Rakyat di harian Daulat Rakyat (Hatta, 1954). Dalam artikel yang diterbitkan tanggal 20 Nopember 1933 tersebut, Bung Hatta secara jelas mengungkapkan kegusarannya dalam menyaksikan kemerosotan kondisi ekonoroi rakyat Indonesia dibawah tindasan pemerintah Hindia Belanda.
Yang dimaksud dengan ekonomi rakyat oleh Bimg Hatta ketika itu tentu tidak lain dari ekonomi kaum pribumi atau ekonomi penduduk asli Indonesia. Dibandmgkan dengan ekonomi kaum penjajah yang berada di lapisan atas, dan ekonomi warga timur asing yang berada di lapisan tengah, ekonomi rakyat Indonesia ketika itu memang sangat jauh tertinggal.
Sedemikian mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan penderitaan rakyat pada masa itu, meika tahun 1934 beliau kembali menulis sebuah artikel dengan nada serupa. Judulnya kali ini adalah Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya (Hatta, 1954). Dari judulnya dengan mudah dapat diketahui betapa semakin mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan kemerosotan ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan pemerintah Hindia Belanda.
Tetapi sebagai seorang ekonom yang berada di luar pemerintahan, Bung Hatta tentu tidak bisa berbuat banyak untuk secara langsung mengubah kebijakan ekonomi pemerintah.
Untuk mengatasi kendala tersebut, tidak ada pilihan lain bagi Bung Hatta kecuali terjun secara langsung ke gelanggang politik. Dalam pandangan Bung Hatta, perbaikan kondisi ekonomi rakyat hanya. mungkin dilakukan bila kaum penjajah disingkirkan dari negeri ini. Artinya, bagi Bung Hatta, perjuangan merebut kemerdekaan sejak semula memang diniatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Walau pun demikian, sebagai seorang ekonom pejuang, tidak berarti Bung Hatta serta merta meninggalkan upayanya untuk memperkuat ekonomi rakyat melalui perjuangan ekonomi. Tindakan konkret yang dilakukan Bung Hatta untuk memperkuat ekonomi rakyat ketika itu adalah dengan menggalang kekuatan ekonomi rakyat melalui pengembangan koperasi.
Terinspirasi oleh perjuangan kaum buruh dan tani di Eropa, Bung Hatta berupaya sekuat tenaga untuk mendorong pengembangan koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat.
Sebagaimana terbukti kemudian, kepedulian Bung Hatta terhadap koperasi tersebut berlanjut jauh setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Hal itu antara lain disebabkan oleh kesadaran Bung Hatta bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan.
Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi Indoncsia dari sebuah perekonomian yang berwatak koionial menjadi sebuah perekonomian nasional.
Sebagaimana dikemukakan Bung Karno, yang dimaksud dengan ckonomi nasional adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat banyak dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air (lihat Weinsten, 1976).
Kesadaran-kesadaran seperti itulah yang menjadi titik tolak perumusian pasal 33 Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan pasal tersebut, ”Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua unluk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.”
Dalani kutipan penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut, ungkapan ekonomi kerakyatan memang tidak ditemukan secara eksplisit. Ungkapan konsepsional yang ditemukan dalam penjelasan Pasal 33 itu adalah mengenai ‘demokrasi ekonomi’. Walaupun demikian, mengacu pada definisi kata ‘kerkayatari’ sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta (Hatta, 1932), serta penggunaan kata kerakyatan pada sila keempat Pancasila, tidak terlalu sulit untuk disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan sesungguhnya tidak lain dari demokrasi ekonomi sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 itu. Artinya, ekonomi kerakyatan hanyalah ungkapan lain dari demokrasi ekonomi (Baswir, 1995). Ekonomi Kerakyatan dan Bung Hatta.
Perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi memang tidak dapat dipisahkan dari Bung Hatta. Sebagai Bapak Pendiri Bangsa dan sekaligus sebagai seorang ekonom pejuang, Bung Hatta tidak hanya telah turut meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan sebuah negara merdeka dan berdaulat berdasarkan konstitusi. Beliau juga inemainkan peranan yang sangat besar dalam meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan perekonomian nasional berdasarkan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi. Bahkan, sebagai Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta lah yang secara konsisten dan terus menerus memperjuangkan tegaknya kedaulatan ekonomi rakyat dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia.
Tetapi bila ditelusuri ke belakang, akan segera diketahui bahwa persinggungan Bung Hatta dengan gagasan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi sekurang kurangnya telah dimulai sejak berlangsungnyatanmalaka3001perbincangan antara Bung Hatta dan Tan Malaka di Berlin, bulan Juli 1922. Bung Hatta ketika itu bduni genap setahun berada di negeri Belanda.
Dalam perbincangan tersebut, yaitu ketika Tan Malaka mengungkapkan kekecewaannya terhadap model pemerintahan diktatur yang diselenggarakan Stalin di Uni Soviet, Bung Hatta serta merta menyelanya dengan sebuah pertanyaan yang sangat tajam, “Bukankah kediktaturan memang inheren dalam paham komunisme?
Pertanyaan Bung Hatta tersebut ditanggapi oleh Tan Malaka dengan menjelaskan teori diktatur proletariat yang diperkenalkan oleh Karl Marx. Menurut Tan Malaka, diktatur proletariat sebagaimana dikemukakan oleh Marx hanya berlangsung selama periode transisi, yaitu selama berlangsungnya pemindahan penguasaan alat-alat produksi dari tangan kaum kapitalis ke tangan rakyat banyak.
Selanjutya, kaum pekerja yang sebelumnya telah tercerahkan di bawah panduan perjuangan kelas, akan mengambil peran sebagai penunjuk jalan dalam membangun keadilan Hal itu akan dicapai dengan cara menyelenggarakan produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan berbagai institusi dalam masyarakat. Hal tersebut jelas sangat bertolak belakang dengan diktatur personal” (Hatta, 1981).
Penggalan kalimat Tan Malaka yang berbunyi “produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan berbagai institusi dalam masyarakat” itu tentu mengingatkan kita pada penggalan kalimat yang terdapat dalam penjelasan pasal 33 IJUD 1945 sebagaimana dikemukakan tadi. Kemiripan kedua kalimat tersebut secara jelas mengungkapkan bahwa persinggungan Bung Hatta dengan konsep ekonomi kerakyatan setidak-tidaknya telah berlangsung sejak tahun 1922, sejak tahun pertama ia berada di negeri Belanda.
Perkenalan pertama itu tampaknya sangat berkesan bagi Bung Hatta, sehingga mendorongnya untuk melakukan pengkajian secara mendalam. Selain membaca bukubuku sosialisme, Bung Hatta juga memperluas pergaularmya dengan kalangan Partai Buruh Sosial Demokrat (SDAP) di Belanda. Bahkan, tahun 1925, sebagai aktivis Perhimpunan Indonesia, Bung Hatta sengaja memutuskan untuk melakukan kunjungan ke beberapa negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia. Tujuannya adalah unluk mempelajari gerakan koperasi. dari dekat (Hatta, 1981).
Selepas menyelesaikan studi di Belanda, komitmen Bung Hatta terhadap ekonomi kerakyatan terus berlanjut. Salah satu tulisan yang mengungkapkan konsistensi komitmen Bung Hatta terhadap ekonomi kerakyatan adalah pamphlet yang disusunnya untuk
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) pada tahun 1932. Dalam pamphlet yang berjudul “Menuju Indonesia Merdeka” tersebut, Bung Hatta mengupas secara panjang lebar mengenai pengertian kerakyatan, demokrasi, dan arti penting demokrasi ekonomi sebagai salah satu pilar model demokrasi sosial yang cocok bagi Indonesia merdeka,
Sebagaimana ditulisnya, di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong-pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yartg mesti menguasai penghidupan orang bariyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan.
Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya,” (Hatta, 1932).
Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila dalam kedudukan sebagai penyusun UUD 1945, Bung Hatta berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan ekonomi kerakyatan sebagai prinsiop dasar sistem perekonomian Indonesia. Hal itu pula, saya kira, yang menjelaskan mengapa setelah menjabat sebagai wakil presiden, Bung Hatta terus mendorong pengembangan koperasi di Indonesia. Berkat komitmen tersebut, sangat wajar bila tahun 1947 Bung Hatta secara resmi dikukuhkan oleh Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Konsistensi komitmen Bung Hatta terhadap ekonomi kerakyatan itu bahkan berlanjut setelah beliau melepaskan jabatannya sebagai wakil presiden. Sebagaimana terungkap dalam tulisannya yang berjudul Demokrasi Kita, yang diterbitkan empat tahun setelah beliau meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden pada taliun 1956, Bung Hatta sekali lagi mempertegas pentingnya penyelenggaraan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi sebagai jalan dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia.
Sebagaimana ditulisnya, “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi.
Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada.Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial., melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia,” (Hatta, 1960)…………. ” dstnya.
Saya membaca tulisan diatas dengan penuh rasa takjub akan kualitas pemikiran dan konsistensi perjuangan Bung Hatta sebagai salah satu bapak bangsa Indonesia, bersama dengan 1hattapara bapak bangsa lainnya seperti Bung Karno, Tan Malaka, Bung Syahrir, Haji Agus Salim, Mohammad Yamin, dan sederet nama besar lainnya.
Sangat banyak contoh-contoh perbuatan nyata yang ditinggalkan oleh mereka ini untuk generasi sesudah mereka. Hubungan pribadi yang hangat dan akrab walau ada perbedaan dalam politik, kesantunan, kegigihan dalam memperjuangkan cita-cita yang bernilai luhur, kesediaan berkorban, dan lain-lain.
Dalam suasana ”pesta demokrasi” yang bernama Pemilihan anggota Legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden yang sedang berlangsung sekarang, tampak dengan jelas bahwa pemikiran Bung Karno dan Bung Hatta ternyata mampu melampaui masa kehidupan mereka.
BE042995Pemikiran Bung Karno tentang ”Marhaenisme”, ”Berdiri Diatas Kaki Sendiri (Berdikari)”, dan ”Nasionalisme Indonesia”, serta pemikiran Bung Hatta tentang Demokrasi dan ”Ekonomi Kerakyatan”  ternyata masih hidup dan berkembang sampai saat ini, yang diusung oleh beberapa  partai politik.
Ini tentunya sangat melegakan, mengingat  bahwa pada era Reformasi akan terjadi proses koreksi atas kesalahan-kesalahan masa lalu, dan menetapkan dasar-dasar yang lebih kokoh dan baik untuk masa depan.
Masih sangat relevannya pemikiran para bapak bangsa tersebut untuk digunakan dalam menghadapi masa depan Indonesia  menunjukkan masih adanya benang merah yang menghubungkan perjuangan yang sudah dilakukan dari zaman kebangkitan Nasional tahun 1920an dengan perjuangan masa kini.
Kita ternyata masih konsisten meneruskan dan mengembangkan cita-cita mereka.
Nah, disinilah saya yang berstatus ’urang awak’ ini kemudian merasakan suatu ”kepedihan” ketika tersadar bahwa tidak ada tampak suatu benang merah yang menghubungkan  cita-cita, pemikiran dan perjuangan Bung Hatta  menyangkut ”Ekonomi Kerakyatan”  dan ”Koperasi” ini dengan upaya keras dan sungguh-sungguh untuk mengembangkan konsep sistim ekonomi besar ini  lebih lanjut di tanah kelahiran beliau sendiri di ranah Minang.
Beliau dikagumi, dihormati, dan dibanggakan oleh semua urang awak. Nama beliau ada pula diabadikan pada nama sebuah perguruan tinggi di ranah Minang (Universitas Bung Hatta),rumah beliau di Bukittinggi dijadikan perpustakaan, atau diabadikannya nama Hatta sebagai nama jalan atau bangunan (saya kurang tahu).
Tapi bagaimana dengan pemikiran dan cita-citanya ?
Tidak ada terdengar bahwa Universitas Bung Hatta atau Universitas Andalas atau Perguruan Tinggi lain di ranah Minang yang memiliki suatu Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan.
Justru pemikiran Bung Hatta dikembangkan secara sungguh-sungguh di Universitas Gajah Mada yang sejak lama telah mendirikan Pusat Studi tersebut dengan beberapa tokohnya yang dikenal secara luas seperti alm. Prof Mubyarto dengan konsep “Ekonomi Pancasila” nya.
Alhamdulillah UGM masih berada di wilayah NKRI.
Bagaimana pula rasa hati kita kalau satu waktu kelak ternyata “Ekonomi Kerakyatan” ini ternyata dikembangkan pula secara intensif oleh negara lain di lingkungan Asean ini ? Dan penerapannya mampu pula mendongkrak perkembangan ekonomi negaranya lebih maju pula dari kita ?
Alhamdulillah pula bahwa ternyata Drs. Revrisond Baswir adalah urang awak juga. Beliau inilah yang secara gigih mengembangkan, mengenalkan, dan memperjuangkan gagasan Bung Hatta (Bung Hatta  ternyata pada fase awal juga terilhami dari diskusi dengan Tan Malaka).
Tidak adakah minat dari Perguruan Tinggi di Sumbar (minimal) untuk  bekerja sama dengan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan yang di UGM tersebut dan Drs Revrisond Baswir guna mengembangkan pula Pusat Studi sejenis di Sumbar ?
Atau secara bersama mencoba mengimplementasikannya di Sumbar ? Mengembangkan jaringan koperasi sebagaimana yang dipelajari Bung Hatta tahun 1920an dari negara-negara Skandinavia yang ekonominya luar biasa majunya sampai saat ini ?
Apa hasil nyata dari Dinas Koperasi dan UKM di Sumbar ? Tidak adakah suatu “beban ekstra” yang membuat mereka bekerja dan berkarya secara lebih sungguh-sungguh karena ini adalah Dinas Koperasi dan UKM di tanah kelahiran Bung Hatta yang dibanggakan tersebut ?
Dan bagaimana pula dengan para ahli ekonomi urang awak ? Kenapa mereka tidak merasa terpanggil untuk mendalami dan mengembangkannya seperti atau bersama Drs Revrisond Baswir ?
Daftar pertanyaan ini bisa menjadi sangat panjang kalau diterus-teruskan.
Kalau saya bisa meniru DR Martin Luther King dalam ”bermimpi”,  I have also a dream…… bahwa suatu waktu kelak para siswa dari berbagai daerah di Indonesia, dan dari berbagai negara akan berduyun-duyun belajar ke perguruan-perguruan tinggi di ranah Minang……. mendalami ilmu Ekonomi Kerakyatan dan Koperasi………mengambil S1, S2, S3…….dan melakukan on-the-job-training di Koperasi-koperasi besar di ranah ini…….para  pakar  Koperasi urang awak  bertebaran di berbagai wilayah dan Negara untuk  mengajarkan konsep ekonomi baru dan Koperasi ini……….Pada zaman itulah, semua orang akan tahu bahwa kalau mau belajar Ekonomi Kerakyatan, datanglah ke ranah Minang………..
Di luar “mimpi” ini saya mengamati pula suatu pola pikir yang berkembang di kalangan sejumlah urang awak menyangkut Pilpres dan  “kebanggaan”  terhadap sesama urang awak yang dinilai sebagai berhasil atau terkategorikan sebagai orang besar.
Dari sebuah milis urang awak dapat diikuti sebuah diskusi hangat yang sudah berbau “kampanye” .  Ternyata cukup banyak  yang menjatuhkan pilihannya  pada  calon tertentu  dengan pertimbangan  antara lain karena  yang bersangkutan  berstatus “urang sumando”, sehingga diharapkan nanti ada jugalah ‘urang awak’ yang jadi ibu Negara……
Ironisnya di milis urang awak itu TIDAK ADA  yang menyebutkan bahwa dia tertarik dengan Capres tertentu yang  (walau baru sekadar ber”janji”) akan menerapkan sistim  “Ekonomi Kerakyatan”  yang sejatinya digagas dan diperjuangkan oleh Bung Hatta, putra Minang yang dibanggakan semua urang awak.
Dua pendapat ini basisnya adalah “kebanggaan”, tapi tetap terasa ada suatu perbedaan dalam dua jenis kebanggaan  tersebut. Yang satu berlingkup kepentingan lokal yang sempit, dan yang satunya lagi berlingkup kepentingan Nasional yang lebih luas dan mendasar.
Yang jelas, saat ini mimpi saya diatas benar-benar barulah hanya sekadar mimpi.
Kalau ada yang mau belajar “Ekonomi Kerakyatan” sekarang, tampaknya  pusat pengembangan dan para pakarnyanya ternyata  masih berada di UGM, Yogyakarta.Yogyakarta ternyata masih menjaga semangat kejuangan 1945 mereka secara konsisten.
Di Jakarta ada pula Perguruan Tinggi bernama Universitas Bung Karno. Tampaknya di sana “Marhaenisme” dan gagasan-gagasan Nasionalisme Bung Karno masih dipelajari oleh para mahasiswanya.
Pemikiran-pemikiran para bapak bangsa yang berasal dari ranah Minang tampaknya tidak dikembangkan lebih lanjut oleh generasi penerusnya di tanah kelahiran mereka sendiri, walau sejumlah hal yang mereka perjuangkan dulu masih relevan dengan situasi dan kondisi masa kini.
“Kebanggaan” yang nampak sekarang hanyalah  sebatas kebanggaan semu; kebanggaan yang tidak jelas manfaatnya, dan tidak jelas pula cara penggunaannya. Yang dicoba digali ternyata sesuatu yang lebih lama lagi, seperti sejarah masa silam Minangkabau yang berasal dari tambo, asal-usul orang Minang yang konon terkait dengan  sejumlah orang “berdarah biru” masa silam (termasuk Iskandar Zulkarnain), kisah kerajaan Pagaruyung, keinginan sejumlah pihak untuk menunjukkan kembali eksistensi kerajaan Pagaruyung di ranah Minang, dan lain sejenisnya.
Hmmm, “perubahan” yang rada heboh sih ada juga di negeri tercinta ini, yaitu fasilitas  rekreasi bernama  water boom ; yang saat ini di ranah Minang terdapat 2 a 3 pilihan  water boom; malah kabarnya masih akan bertambah pula dalam waktu dekat……….
Yah, ini pulalah baru tampaknya kemampuan pikir dan tindak kita di ranah tercinta ini…….

*) Sumber  kutipan :
Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi  Rakyat  & Koperasi  Sebagai Sokoguru Perekonomian Nasional
oleh : Revrisond Baswir
Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Jogyakarta

Kamis, 01 April 2010

Mengenalkan Allah kepada anak..

Assalamualaikum wr wb

Rasulullah saw. pernah mengingatkan, untuk mengawali bayi-bayi kita dengan kalimat laa ilaaha illaLlah." Kalimat suci inilah yang kelak akan membekas pada otak dan hati mereka

Kalau anak-anak itu kelak tak menjadikan Tuhannya sebagai tempat meminta dan memohon pertolongan, barangkali kitalah penyebab utamanya. Kitalah yang menjadikan hati anak-anak itu tak dekat dengan Tuhannya. Bukan karena kita tak pernah mengenalkan –meskipun barangkali ada yang demikian—tetapi karena keliru dalam memperkenalkan Tuhan kepada anak. Kerapkali, anak-anak lebih sering mendengar asma Allah dalam suasana menakutkan.

Mereka mengenal Allah dengan sifat-sifat jalaliyah-Nya, sementara sifat jamaliyah-Nya hampir-hampir tak mereka ketahui kecuali namanya saja. Mereka mendengar asma Allah ketika orangtua hendak menghukumnya. Sedangkan saat gembira, yang mereka ketahui adalah boneka barbie. Maka tak salah kalau kemudian mereka menyebut nama Allah hanya di saat terjadi musibah yang mengguncang atau saat kematian datang menghampiri orang-orang tersayang.

Astaghfirullahal `adziim…

Anak-anak kita sering mendengar nama Allah ketika mereka sedang melakukan kesalahan, atau saat kita membelalakkan mata untuk mengeluarkan ancaman. Ketika mereka berbuat "keliru" –meski terkadang kekeliruan itu sebenarnya ada pada kita—asma Allah terdengar keras di telinga mereka oleh teriakan kita, "Ayo…. Nggak boleh! Dosa!!! Allah nggak suka sama orang yang sering berbuat dosa."

Atau, saat mereka tak sanggup menghabiskan nasi yang memang terlalu banyak untuk ukuran mereka, kita berteriak, "E… nggak boleh begitu. Harus dihabiskan. Kalau nggak dihabiskan, namanya muba…? Muba…? Mubazir!!! Mubazir itu temannya setan. Nanti Allah murka, lho."

Setiap saat nama Allah yang mereka dengar lebih banyak dalam suasana negatif; suasana yang membuat manusia justru cenderung ingin lari. Padahal kita diperintahkan untuk mendakwahkan agama ini, termasuk kepada anak kita, dengan cara "mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka lari". Anak tidak merasa dekat dengan Tuhannya jika kesan yang ia rasakan tidak menggembirakan. Sama seperti penggunaan kendaraan bermotor yang cenderung menghindari polisi, bahkan di saat membutuhkan pertolongan. Mereka "menjauh" karena telanjur memiliki kesan negatif yang tidak menyenangkan. Jika ada pemicu yang cukup, kesan negatif itu dapat menjadi benih-benih penentangan kepada agama; Allah dan rasul-Nya. Na'udzubillahi min dzalik.

Rasanya, telah cukup pelajaran yang terbentang di hadapan mata kita. Anak-anak yang dulu paling keras mengumandangkan adzan, sekarang sudah ada yang menjadi penentang perintah Tuhan. Anak-anak yang dulu segera berlari menuju tempat wudhu begitu mendengar suara batuk bapaknya di saat maghrib, sekarang di antara mereka ada yang berlari meninggalkan agama. Mereka mengganti keyakinannya pada agama dengan kepercayaan yang kuat pada pemikiran manusia, karena mereka tak sanggup merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan. Sebab, semenjak kecil mereka tak biasa menangkap dan merasakan kasih-sayang Allah.

Agaknya, ada yang salah pada cara kita memperkenalkan Allah kepada anak. Setiap memulai pekerjaan, apa pun bentuknya, kita ajari mereka mengucap basmalah. Kita ajari mereka menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tetapi kedua sifat yang harus selalu disebut saat mengawali pekerjaan itu, hampir-hampir tak pernah kita kenalkan kepada mereka (atau jangan-jangan kita sendiri tak mengenalnya? ). Sehingga bertentangan apa yang mereka rasakan dengan apa yang mereka ucapkan tentang Tuhannya.

Bercermin pada perintah Nabi saw. dan urutan turunnya ayat-ayat suci yang awal, ada beberapa hal yang patut kita catat dengan cermat. Seraya memohon hidayah kepada Allah atas diri kita dan anak-anak kita, mari kita periksa catatan berikut ini:

Awali Bayimu dengan Laa Ilaaha IllaLlah

Rasulullah saw. pernah mengingatkan, "Awalilah bayi-bayimu dengan kalimat laa ilaaha illaLlah."

Kalimat suci inilah yang perlu kita kenalkan di awal kehidupan bayi-bayi kita, sehingga membekas pada otaknya dan menghidupkan cahaya hatinya. Apa yang didengar bayi di saat-saat awal kehidupannya akan berpengaruh pada perkembangan berikutnya, khususnya terhadap pesan-pesan yang disampaikan dengan cara yang mengesankan. Suara ibu yang terdengar berbeda dari suara-suara lain, jelas pengucapannya, terasa seperti mengajarkan (teaching style) atau mengajak berbincang akrab (conversational quality), memberi pengaruh yang lebih besar bagi perkembangan bayi. Selain menguatkan pesan pada diri anak, cara ibu berbicara seperti itu juga secara nyata meningkatkan IQ balita, khususnya usia 0-2 tahun. Begitu pelajaran yang bisa saya petik dari hasil penelitian Bradley & Caldwell berjudul 174 Children: A Study of the Relationship between Home Environment and Cognitive Development during the First 5 Years.

Apabila anak sudah mulai besar dan dapat menirukan apa yang kita ucapkan, Rasulullah saw. memberikan contoh bagaimana mengajarkan untaian kalimat yang sangat berharga untuk keimanan anak di masa mendatang. Kepada Ibnu `Abbas yang ketika itu masih kecil, Rasulullah saw. berpesan:

"Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasehat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan pada Allah. Ketahuilah bahwa apabila seluruh ummat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu itu.Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering." (HR. At-Tirmidzi) .

Dalam riwayat lain disebutkan, "Jagalah hak-hak Allah, niscaya engkau akan mendapatkan Dia ada di hadapanmu. Kenalilah Allah ketika engkau berada dalam kelapangan, niscaya Allah pun akan mengingatmu ketika engkau berada dalam kesempitan. Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang salah dalam dirimu tidak mesti engkau langsung mendapatkan hukuman-Nya. Dan juga apa-apa yang menimpa dirimu dalam bentuk musibah atau hukuman tidak berarti disebabkan oleh kesalahanmu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu akan datang ketika engkau berada dalam kesabaran, dan bersama kesempitan akan ada kelapangan. Juga bersama kesulitan akan ada kemudahan."

Apa yang bisa kita petik dari hadis ini? Tak ada penolong kecuali Allah Yang Maha Kuasa; Allah yang senantiasa membalas setiap kebaikan. Tak ada tempat meminta kecuali Allah. Tak ada tempat bergantung kecuali Allah. Dan itu semua menunjukkan kepada anak bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.

Wallahu a'lam bishawab.

Iqra' Bismirabbikal ladzii Khalaq

Sifat Allah yang pertama kali dikenalkan oleh-Nya kepada kita adalah al-Khaliq dan al-Karim, sebagaimana firman-Nya, "Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. " (QS. Al-`Alaq: 1-5).

Setidaknya ada 3 hal yang perlu kita berikan kepada anak saat mereka mulai bisa kita ajak berbicara

Pertama, memperkenalkan Allah kepada anak melalui sifat-Nya yang pertama kali dikenalkan, yakni al-Khaliq (Maha Pencipta). Kita tunjukkan kepada anak-anak kita bahwa kemana pun kita menghadap wajah kita, di situ kita menemukan ciptaan Allah. Kita tumbuhkan kesadaran dan kepekaan pada mereka, bahwa segala sesuatu yang ada di sekelilingnya adalah ciptaan Allah. Semoga dengan demikian, akan muncul kekaguman anak kepada Allah. Ia merasa kagum, sehingga tergerak untuk tunduk kepada-Nya.

Kedua, kita ajak anak untuk mengenali dirinya dan mensyukuri nikmat yang melekat pada anggota badannya. Dari sini kita ajak mereka menyadari bahwa Allah Yang Menciptakan semua itu. Pelahan-lahan kita rangsang mereka untuk menemukan amanah di balik kesempurnaan penciptaan anggota badannya. Katakan, misalnya, pada anak yang menjelang usia dua tahun, "Mana matanya? Wow, matanya dua, ya? Berbinar-binar. Alhamdulillah, Allah ciptakan mata yang bagus untuk Owi. Matanya buat apa, Nak?"

Secara bertahap, kita ajarkan kepada anak proses penciptaan manusia. Tugas mengajarkan ini, kelak ketika anak sudah memasuki bangku sekolah, dapat dijalankan oleh orangtua bersama guru di sekolah. Selain merangsang kecerdasan mereka, tujuan paling pokok adalah menumbuhkan kesadaran –bukan hanya pengetahuan—bahwa ia ciptaan Allah dan karena itu harus menggunakan hidupnya untuk Allah.

Ketiga, memberi sentuhan kepada anak tentang sifat kedua yang pertama kali diperkenalkan oleh Allah kepada kita, yakni al-Karim. Di dalam sifat ini berhimpun dua keagungan, yakni kemuliaan dan kepemurahan. Kita asah kepekaan anak untuk menangkap tanda-tanda kemuliaan dan sifat pemurah Allah dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga tumbuh kecintaan dan pengharapan kepada Allah. Sesungguhnya manusia cenderung mencintai mereka yang mencintai dirinya, cenderung menyukai yang berbuat baik kepada dirinya dan memuliakan mereka yang mulia. Wallahu a'lam bishawab.

( Sumber : M. Fauzil Adhim – Suara Hidayatullah )